Untuk mengobati kangen karena ngga bisa mudik, saya diskusi
bersama suami untuk bisa merasakan Idul Fitri di Mekkah. Hitung-hitung
menghibur diri yang sedang sedih. Akhirnya suami pun setuju. Kami juga merencakanan
untuk sekalian melaksanakan ibadah umroh, dengan berusaha booking permit umroh
pada 30 Ramadan. Alhamdulillah, permitnya berhasil didapat. Tinggal memikirkan
ke Mekkah naik bus atau pesawat. Yang lebih hemat karena kami pergi ber empat
tentu dengan naik bus. Lagi-lagi memikirkan, amannya kalau naik bus tentu enak
dengan penumpang yang sudah dikenal, daripada sebus dengan warga negara lain,
kami pasti agak risih dan was-was dimusim pandemi seperti ini.
Ternyata beberapa rekan kami juga punya niat sama ingin melaksanakan
umroh pada akhir Ramadan sekaligus merasakan lebaran di Mekkah. Akhirnya kami booking
satu bus untuk rombongan kami. Kapasitas penumpang tidak full dan tetap duduk jaga
jarak selama di bus. Terkecuali beberapa keluarga yang membawa anak, duduk
tetap bersama para bocil. InsyaaAllah masih terbilang aman.
Perjalanan dari Riyadh menuju Mekkah menempuh jarak 868
kilometer, dengan kecepatan bus rata-rata 100 kilometer per jam. Mampir sekitar
tiga kali di rest area untuk ke kamar mandi dan juga untuk melaksanakan
sholat.
Berangkat dari Riyadh sekitar pukul 11.00 siang, tiba di
Mekkah sekitar pukul 12 malam. Sebagian dari kami mendapat permit untuk
melaksanakan umroh mulai dari jam tiga pagi. Setibanya di hotel kami sibuk
dengan agenda masing-masing sembari terus berkoordinasi, melaporkan bagaimana
pemeriksaaan di lapangan. Alhamdulillah semua terbilang lancar. Saya dan
rekan-rekan bisa lolos dibeberapa titik pemeriksaan ketika hendak memasuki
kawasan Masjidil Haram.
Ramadan kali ini, untuk bisa umroh atau sholat di Masjidil Haram,
aturannya cukup diperketat lagi. Akses masuk ke Masjidil Haram juga diatur sedemikian
rupa. Jika di luar Ramadan ada beberapa gate atau pintu yang dibuka, Ramadan
ini semua difokuskan satu gate saja. Mungkin agar pemeriksaan lebih mudah dan
teratur pastinya.
Saya dan suami berangkat menuju Masjidil Haram sekitar pukul dua
pagi. Ketika kami sudah memastikan anak-anak terlelap. Lalu kami meninggalkan
mereka, dengan sebelumnya menitipkan pada rekan di kamar sebelah. Beginilah
nasib para keluarga dimana ada bocil di dalamnya. Kami bergantian saling
menjaga untuk bisa melaksanakan rangkaian ibadah umroh.
MasyaaAllah bisa merasakan thawaf dini hari, ada rasa
bahagia, malu dan campur aduk pastinya. Teriring doa tulus agar wabah dan
pandemi ini lekas berakhir. Juga doa untuk para jamaah terutama yang berasal
dari Indonesia agar dimudahkan ke tanah suci. Terbayang bagaimana rindu yang
membuncah atas tertundanya keberangkatan beberapa jamaah ketika pandemi ini
terjadi.
Menjelang subuh, kami juga dapat kesempatan salat di area
mataf /sekitar ka’bah. Masyaa Allah biidznillah. Mendengar adzan subuh di
penghujung Ramadan begitu syahdu nya.
Rangkaian ibadah umroh berjalan dengan lancar. Sore hari kami
masih bisa berjalan di pelataran masjid, pun mendapat paket iftar dari petugas.
masyaaAllah senangnya. Sayang, kami dilarang duduk-duduk berkerumun di
pelataran. Maka kami memutuskan untuk naik ke mall sekitar masjid sekedar
menghidar petugas.
Menjelang isya kami turun dan berharap bisa sholat di
pelataran. Lagi-lagi petugas sigap menertibkan kami dan jamaah lain untuk tidak
sholat di area pelataran. Memang sejak pandemi, area pelataran Masjidil Haram
cukup steril. Hiks sedihnya. Rindu suasana jamaah yang biasanya tumpah ruah
hingga ke jalan.
Hari Raya pun tiba...
Menjelang subuh, saya ikut mengamati diskusi para bapak-bapak
di grup WA. Sebagian sudah siap menuju masjid, sebagian masih bersiap-siap.
Semuanya tidak memiliki permit untuk bisa sholat Ied. Maka dari itu, sebagian
bapak-bapak ini bertekad masuk ke masjid menjelang subuh dan menanti di dalam
sampai waktu sholat Ied tiba.
Beda dengan ibu-ibu, saya amati, sepertinya belum ada respon
apakah para ibu akan ke masjid juga? Kalau saya sudah pasti tidak. Karena
ternyata tamu bulanan datang menjelang subuh tadi. Hiks, sedih ngga bisa ikut
sholat Ied.
Akhirnya saya berdiskusi dengan beberapa rekan. Kami memutuskan
untuk menuju masjid, siapa tahu masih bisa ikut sholat di pelataran. Sayang,
ketika menunggu bus yang biasa mengangkut jamaah dari hotel, mereka menolak.
Ketika sebuah taxi melaju, kami pun menghentikannya.
Anak-anak tampak senang meski masih terlihat mengantuk.
Sedihnya, taxi yang kami tumpangi diberhentikan petugas. Kami tidak bisa
mencapai Masjidil haram untuk melaksanakan sholat Ied, akhirnya kami bergabung
menuju shaf di pinggir jalan. Para jamaah lain ini nasibnya sama dengan kami, tidak
bisa mencapai area masjid.
Setelah sholat selesai, kami berjalan sebentar menuju masjid.
Lagi-lagi ada petugas yang berjaga. Dan dengan tegas melarang kami untuk
memasuki kawasan masjid. Akhirnya kami menyerah dan memutuskan untuk kembali ke
hotel.
Setibanya di hotel, anak-anak senang karena disambut oleh
chef hotel yang berbagi hadiah. Kegembiraan hari raya. Pihak hotel juga
menyediakan kudapan kecil untuk bisa dinikmati tamu-tamunya. Tentu saja bukan
ketupat dan opor ayam, hehe.
Demikian lebaran di Mekkah tahun ini. Jika tidak dalam
suasana pandemi entah seperti apa meriahnya. Yang jelas, kami bersyukur karena
tahun ini bisa merasakan lebaran di Mekkah. Semoga tahun depan keadaan benar-benar
sudah normal kembali.
MAsyaAllah bisa Idul Fitri di Mekah Mba...smeoga aku bisa ke sana baik Umroh maupun Haji aamiin ..salam kenal mba..btw kukira Riyadh deket ternyata lumayan ya mba brgkt 11 siang tiba di Mekah 12 malam
BalasHapusAlhamdulillah, biidznillah mbak, karena ngga memungkinkan untuk mudik jadi kami memilih lebaran ke Mekkah. Smg terwujud niat baiknya, MBak :), RIyadh - Mekkah ibarat Bekasi Jogja via darat, hehe lumayan
Hapus